Rabu, 22 Oktober 2008

Masih Ada Senyum

Pagi yang dingin membukakan mataku yang masih mengantuk. Jam weker di sampingku menunjukkan pukul 06.00 pagi. Sayup-sayup kudengar suara televisi dari ruang tengah. Memang biasa televisi menyala sepagi itu untuk memberikan berita pada ayahku.Hari ini seingatku tidak ada kuliah, jadi kuputuskan untuk melanjutkan tidurku. Suasana pagi dingin memang cocok untuk tidur pulas. Kubaringkan lagi punggungku dan berharap akan datang mimpi yang indah untukku.

? ? ?

GUBRAKK!!!Aku kaget setengah mati mendapati tubuhku jatuh dari tempat tidur. “Asu!” umpatku spontan setelah sadar dari kantukku. Jam sepuluh lebih sepuluh menit seakan-akan menunjukkan bahwa waktu tidurku sudah habis. Dengan rasa kantuk yang masih menyertai, aku keluar kamar dan segera mandi. Ternyata tak hanya pagi itu saja yang dingin, air untuk mandi pun serasa sedingin es. Mataku menjadi benar-benar terbuka lebar karenanya.Sembari menonton televisi, kusantap sarapanku. Tidak ada acara bagus hari ini, jadi kutonton saja acara kuis. Masih pukul 10.35, itu tandanya sudah 15 menit aku menonton acara itu.

“Andi, tolong nanti jemput adikmu jam 11, ya!” pinta ibu secara tiba-tiba.
“Lho, memangnya ibu mau ke mana?”
“Ada tetangga kita yang meninggal. Jadi ibu harus melayat dulu sampai pemakaman.”
“Ya sudah, nanti aku jemput,” jawabku santai.

? ? ?

Pukul sebelas tepat aku menutup pintu gerbang kecil rumahku. Kira-kira 15 menit untuk sampai di sana. Pikirku, dengan terlambat 15 menit, aku tidak perlu menunggu lama.Sesampainya di sana, ternyata masih sepi. Ada beberapa penjual yang nampaknya juga menunggu. Wah, mungkin ada acara tambahan pikirku, tidak mungkin kalau ‘ngaret’ sampai tengah hari.Tiba-tiba muncul dua pemuda berbonceng dari gang dibelakangku. Mereka nampaknya mempunyai maksud yang sama denganku. Kulihat mereka menemui salah satu pedagang. Pedagang itu menggelengkan kepalanya, sepertinya menyampaikan ketidaktahuannya. Mereka berdua diam sejenak dan saling pandang kemudian menemui satpam di dalam gerbang sekolah. Kemudian mereka pergi setelah —sepertinya— pamit kepada satpam itu. Aku pun hanya diam tak bergerak dari motorku. Kuangkat tangan kiriku dngan maksud melihat jam. Pada saat iru juga aku sadar bahwa aku lupa memakai jam tangan G-Shock miliku. Ya sudahlah, sabarkan diri saja, kataku dalam hati.Dalam lamunku, terlintas kembali kejadian tadi ketika aku berangkat kemari. Di perempatan yang cukup padat terjadi tabrak lari. Mobil menabrak becak berpenumpang lantas mobil itu pergi, itu kata salah seorang yang berdiri di pinggir trotoar. Mungkin karena tidak ada pos polisi di tempat itu, membuat penabrak segera lari agar tidak perlu bertanggang jawab dengan membayar perawatan mahal.Orang-orang sekitar yang menolong korban segera melarikan penumpang becak itu ke rumah sakit. Masalahnya, kaki penumpang itu tertusuk barang bawaannya sendiri. Mungkin ia hendak melompat keluar ketika terjadi tabrakan tapi malah terpental ke tempat duduk lagi. Entahlah. Aku segera meninggalkan keramaian itu mengingat harus menjemput adikku.Sekonyong-konyong muncul sebuah mobil merek Lancer, yang sudah dimodifikasi habis tampilannya, keluar dari gang 50 meter di depanku. Aku pun kembali sadar pada keadaan yang sedang kualami. Mobil itu berhenti di dekat seorang penjual dan selanjutnya terdiam sepertiku.Pandanganku beralih ke atas mobil itu. Nampaknya beberapa kaca jendela yang pecah entah kenapa. Itu adalah kacang gedung SMP swasta. Muridnya nakal-nakal. Murid-murid perempuan SMA yang terletak di timurnya sering sekali digoda. Tapi akhir-akhir ini sudah tidak terjadi lagi karena sudah ada dua satpam yang berjaga di dalam dan di luar sekolah. Sekolah SMA itu ya sekolahnya adikku. Satu-satunya sekolah khusus perempuan di kota ini. Jadi, mengingat hal itu, pastinya banyak pria hidung tak berbelang yang akan berdatangan di sini pada waktunya nanti.Udara menjadi semakin panas, tak seperti pagi tadi. Bersamaan dengan itu, emosiku juga memanas karena pintu gerbang itu tak kunjung dibuka lebar. Selain itu, tak ada yang bisa kukerjakan selain ‘menonton’ tempat ini. Kalau saja ada penjual permen karet di sekitar sini, aku bisa dengan santai merokok. Tapi kalau tak ada itu, nanti adikku mencium bau tembakau di mulut. Bila hal itu sampai terjadi, tamatlah riwayatku.Padahal aku sudah mahasiswa, tapi tetap tidak diijinkan merokok oleh ayahku. Katanya kalah belum bisa cari uang sendiri jangan membakar uang orang tua dengan merokok.Tiba-tiba sekelompok anak SMA berhenti 5 meter dari mobil tadi. Itulah sebagian pria hidung tak berbelang yang aku maksudkan tadi. Aku berharap segera datang yang lain agar menemaniku. Walaupun mereka tidak ngobrol denganku, setidaknya ada lebih banyak orang jadi terasa lebih hidup. Tapi, kalah dilihat-lihat lagi kelakuan dari kelompok tadi, mereka adalah pria yang hidungnya berbelang. Tapi…ah apa peduliku.Tak lama kemudian dua pemuda yang tadi bertanya pada satpam kembali. Kali ini mereka hanya lewat dan pergi lagi melalui gang yang lain. Timbul pertanyaan dalam benakku, apa yang mereka nantikan hingga bolak balik 2 kali? Apakah hanya menunggu seseorang atau menagih hutang? Kalau begitu bukankah lebih baik kalau menunggu di sini bersamaku? Entahlah.

? ? ?

Cuaca siang ini makin panas. Aku berpindah tempat untuk menghindari sengatan matahari yang seolah mengejarku. Aku tak tahu sudah berapa jam aku di sini. Tapi, yang pasti sudah lama sekali. Akan kumarahi adikku habis-habisan nanti. Sebabnya dia berbohong jam kepulangannya. Sehingga aku harus tersiksa berjam-jam menunggu dalam kediaman.Lama kelamaan muncul juga para orang tua yang menjemput anaknya. Begitu halnya dengan dua pemuda tadi. Tapi kali ini mereka bersama dengan teman mereka dan kemudian merokok bersama setelah berhenti di depan pintu gerbang sekolah itu. Aku iri dengan mereka yang nampaknya bebas merokok di mana saja. Sungguh berlainan dengan diriku yang takut ketahuan orang tua.Ketika dua batang rokok telah mereka habiskan, terbukalah gerbang itu dan keluarlah banyak gadis SMA yang manis dan cantik. Salah seorang diantaranya melambaikan tangannya kepadaku dan setengah berlari ke arahku. Kulihat wajahnya nampak lelah nan letih, namun masih ada senyum di sana. Seketika itu juga, hilanglah niatku untuk marah padanya. Ya, senyum manis itulah yang menghilangkannya.

“Udah lama, kak?”

“Nggak, baru sebentar kok”

“Kok nggak biasanya kakak jemput?”

“Ibu melayat ayahnya Pak Marto.”

Dia segera naik memboncengku dengan semangat. Aku perhatikan ketiga pemuda tadi, mereka masih di sana. Sendiri. Nampaknya yang mereka nantikan masih belum juga keluar. Segera aku nyalakan motorku dan berbalik, pulang.

“Jam berapa sekarang?”

“Mmm…baru jam setengah dua.”

-tahun 2006-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar