Rabu, 22 Oktober 2008

PLOK

PLOK! Suara kecil muncul dari tutupan bukuku yang menandai bahwa telah habis waktu untuk membaca hari ini. “Inul itu Diva?”, itu judul buku yang kubaca. Sebuah bunga rampai dari para penulis ulung nasional. Saking ulungnya mereka, mereka mampu saling ejek tanpa menunjuk siapa yang mereka ejek. Yah, begitulah orang Indonesia, jago bicara dan saling tuding. Baiklah aku cukupi soal buku dan para penulis itu. Setelah waktu untuk membaca habis, aku harus menunggu esok hari pada pukul yang sama untuk melanjutkan membaca.
Sore ini tidak banyak yang harus aku kerjakan.

“Hey, mau mandi duluan atau aku dulu,” tanya kakakku.
“Kau dulu,” jawabku.

Memang biasa kami harus saling menanyakan setiap kali hendak memakai sarana rumah, seperti kamar mandi, komputer, televisi, dsb. Mengapa? Mudah saja, sebab orang-orang serumahku adalah orang-orang yang luar biasa sibuk. Kalaupun sore hari seperti ini, tidak begitu masalah, tetapi kalau pagi hari, bisa dibayangkan seperti apa. Hanya ayahku saja yang tidak terlalu sibuk. Beliau sudah tidak bekerja, jadi agak longgar waktunya. Dua diantara kakakku sudah bekerja, tapi belum ada yang menikah. Satu lagi masih kuliah, tapi hampir lulus. Kalau ibuku, dia setidaknya sudah tidak perlu sibuk lagi di dunia, tapi pastinya dia sibuk juga di sana, tapi sudah tidak ada hubungannya dengan kami di sini. Yah, itulah keluargaku.
Tiga puluh menit berlalu dan kini giliranku mandi. Maka mandilah aku.
KRING KRING! Terdengar bunyi klakson tradisional dari luar rumah. Tak lama ayahku yang menengok ke luar memanggilku dan mengatakan kawanku mencariku. Oh, aku lupa kalau ada janji pertemuan antara anggota pecinta sepeda onthel. Bergegas aku ke garasi dan mengeluarkan sepeda onthel keduaku. Tak jauh dari sepeda itu, terlihat olehku sebuah sepeda yang lebih kuno, sepeda onthel pertamaku.
Terdiam sejenak aku menatap benda itu…. Kembali terlintas olehku secarik kenangan lama yang…
Pagi itu tidak cukup dingin untuk memaksaku kembali ke tempat tidur. Kukayuh sepedaku dengan hati berdebar dan sedikit kebimbangan. Aneh juga, padahal masih dua jam lagi aku akan mengatakan sesuatu yang cukup berarti itu. Sial! Baru kali ini aku seperti ini. Kalaupun bimbang seharusnya sejak sebelum kayuhan pertama tadi. Baiklah, segera hadapi saja, aku ini laki-laki sejati, bung. Pikiranku meyakinkan diriku sendiri. Roda berputar semakin kencang, dan semakin kencang.
Sejenak kemudian aku sudah berdiri di depan gedung kampus.
Kutanyakan kepadanya, ”Mulai hari ini, kau akan menjadi kawan atau lawan?”
Satpam yang bertugas jaga pagi itu malah yang menjawab, ”Untuk waktu dekat ini ia akan jadi kawanmu. Tapi ingatlah, sekarang kawan, esok lawan. Sudah banyak yang jadi korbannya.”
Aku hanya tersenyum. Sepertinya satpam itu tahu apa yang akan aku lakukan hari itu. Satu setengah jam lagi, kita lihat satu setengah jam lagi.
Kuliah pagi itu aku anggap tidak ada, karena pikiranku pergi ke masa depan. Apa yang akan terjadi nanti? Apa reaksinya? Tak henti-hentinya aku menatap jam dinding. Cepatlah, dasar waktu sialan!
….”Yak, saya rasa cukup untuk hari ini. Sampai jumpa minggu depan dengan tugas tadi.” Akhir kata yang sangat kuharapkan dari dosen pagi itu akhirnya datang juga. Bergegas aku berdiri, membubuhkan tanda tangan dan pergi.
Di mana dia, di mana dia? Oh, biasanya di tangga depan koridor telepon. Aku agak berlari. Debar jantung makin menggila. Mata mencari wajahnya seperti orang gila. Untunglah perilakuku tidak seperti orang gila. AH! Itu dia!
“Hoi, kenapa kok celingak-celinguk begitu?” suara yang sangat akrab, “Cari siapa?”
“Cari kamu.”
“Oh, ya? Ada perlu?”
“Kemari sebentar.”
Sepuluh langkah dari tempat semula.
“Mau ngomong apa, sih?”
“Cuma empat kata kok.” Aku terdiam.
Pikiranku mengumpat berkali-kali. Bodoh! Jauh-jauh bertemu hanya mau mengatakan empat kata? Dasar mulut keparat, tunggu otak berpikir dulu baru ngomong. Sekarang apa empat kata itu?
Hello, anybody there, I’m waiting here.”
Mati kau. Sekarang dia bertanya. Hei, mulut bangsat cepat katakan yang tadi empat katamu itu. Huh, padahal aku sudah menyiapkan satu alinea untuk mengatakan yang terindah yang ingin didengar wanita.
“Aku suka sama kamu,” kataku.
Hah? Hanya itu? Aduh, habis sudah. Kalau saja si mulut itu tidak…

“Akhirnya kamu bilang juga kalimat itu,” jawabnya sembari menyimpulkan satu senyuman khasnya, “Aku sudah nunggu kamu ngomong itu. Aku menanti kamu berkata itu. Dan…cara ini…bener-bener kamu banget, ya? Tanpa bunga, tanpa lilin, tanpa bintang, hanya cinta.”
“Yah, kalau rencana, sih, banyak. Pernah terpikir untuk membawa kamu ke puncak jembatan layang di malam hari, sambil membawa sepucuk mawar dan bintang-bintang sambil mengutarakannya. Atau memesan sebuah meja di café perbukitan itu, sembari diterangi lilin merah dan pemandangan kota di malam hari, baru kuakhiri dengan mengutarakannya, dan sebagainya. Tapi kau tahu, itu bukan caraku. Romantis hanya untuk orang puitis, sedangkan aku adalah ilalang yang akan dihabisi belalang.”
24 September 2007 pukul 09.10 di koridor telepon kampus, adalah hari yang indah. Benar kata satpam pagi itu, gedung ini kawan.

KRING KRING! Kembali klakson tradisional itu terdengar. Ah, nostalgia. Berlalulah kau. Keluarlah aku dari garasi rumah dan pergi bersama kawanku.
“Lama sekali. Ngapain, sih?”
“Tidak. Tidak ada apa-apa.”

Yogya, 5 Mei 2008, 20.16 WIB Senin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar